Senin, 26 Juli 2010

KEHADIRAN BURUNG MIGRAN DAN KONDISI PESISIR PANTAI SUMATERA UTARA



Antara bulan November sampai Januari, umumnya kawasan Asia Tenggara termasuk IndonesiaSiberia di kutub utara. Kondisi ini menyebabkan burung-burung di sana terpaksa harus “melancong” ke kawasan yang memilki pantai yang menyediakan sumber makanan yang cukup, dan tempat beristirahat setelah melalui perjalanan berjarak bermil-mil jauhnya. Selama beberapa waktu kawanan burung ini akan menggantungkan hidup di kawasan itu dan ikut berinteraksi dengan lingkungan lokal. Burung- burung inilah yang dikenal dengan burung migran, sesuai dengan Konvensi Ramsar tahun 1972. memperoleh curah hujan yang cukup tinggi. Musim yang tepat untuk organisme-organisme kecil yang pada umumnya hidup di hamparan Lumpur dan di akar-akar mangrove untuk berkembang biak dengan cepat. Bertepatan dengan itu, di belahan bumi yang lain terutama kawasan yang beriklim subtropik sedang mengalami musim dingin, bahkan mungkin sebagian ada yang tertutup oleh salju seperti daerah


Pesisir Timur Sumatera Utara, seperti Percut Sei Tuan, Karang Gading sampai ke Asahan, merupakan pantai yang memiliki hutan mangrove yang cukup luas. Diversitas dari vegetasi hutan mangrove di sini juga cukup tinggi, bakau Rhizopora sp merupakan yang paling mendominasi, Avicenia sp, Bruguiera sp dan Sonneratia sp juga merupakan flora khas pesisir pantai. Keragaman flora juga diimbangi dengan kekayaan sumber daya berupa organisme invertebrata laut yang melimpah, meliputi kerang-kerangan, kepiting dan spesies ikan yang beragam pula.


Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh Wetlands International melalui program Asian Waterbirds Census bekerjasama dengan relawan sahabat burung dari BIOPALAS USU beberapa waktu lalu, diperoleh data yang cukup membanggakan. Hamparan lumpur di Percut Sei Tuan ternyata dihuni sekitar 207 ekor Mycteria cinerea yang dikenal dengan bluwok. Sedangkan hasil survei di Semenanjung Malaysia pada waktu yang tidak berselang terlalu lama hanya ditemui 9 ekor bluwok. Kuntul besar, dara laut, elang bondol, bangau tongtong juga turut meramaikan semaraknya pesisir pantai yang masih termasuk kawasan Deli Serdang tersebut. Ini belum seberapa dibanding dengan besarnya jumlah burung migran yang hadir di sini setiap tahunnya. Dari hasil pengamatan ditemui sekitar 8000-an ekor burung “pelancong” tersebut. Cerek atau Pluvialis sp merupakan jumlah yang paling besar sekitar 65 %, Limosa lapponica, Aranaria sp dan banyak lagi jenis yang lain. Data ini memang menguatkan pernyataan Rose dan Scott (1997) yang secara terperinci menggolongkan 184 jenis burung air yang terdapat di Indonesia di dalam 20 famili, yang di antaranya adalah Scolopacidae dan Charadridae, kelompok burung migran utama di sini.


Peranan, Ancaman, dan Upaya Antisipasi

Namun satu hal yang perlu segera disikapi adalah burung air terutama burung migran sangat peka terhadap perubahan lingkungan yang mengalami pencemaran dan penurunan kondisi makanannya. Hal ini memang disebabkan karena burung berada dalam urutan tertinggi dalam rantai makanan. Sehingga burung juga dapat dijadikan sebagai indikator perubahan kualitas dari lingkungan ekosistem pantai yang merupakan penyangga ekosistem darat dan ekosistem laut. Kawasan pantai timur Sumatera Utara telah banyak mengalami degradasi mutu dari produktivitas lahan, yang disebabkan karena tingginya aktivitas konversi lahan menjadi pertambakan intensif, pemukiman, serta polusi dari limbah industri dan rumah tangga. Hal ini menyebabkan kesempatan burung air migran untuk memperoleh makanan dalam memenuhi kebutuhan energi menjadi berkurang.


Secara umum ada beberapa hal yang perlu memperoleh perhatian dalam upaya untuk mempertahankan eksistensi dan stabilitas ekosistem tersebut, yaitu pertama mengingat bahwa apabila usaha pemanfaatan sumberdaya alam lebih besar daripada nilai tingkat pemanfaatan lestari (Maximum Sustainable Yield, MSY), akan menyebabkan tingkat pemanfaatan yang berlebihan. Misalnya pemanfaatan lahan hutan mangrove menjadi tambak intensif telah menyebabkan rusaknya hampir 65 % hutan mangrove di Sumatera utara, dari kurang lebih 85.000 ha sekarang hanya tersisa 31.000 ha yang berada dalam kondisi baik. Hal ini bukanlah merupakan data statistik belaka, melainkan merupakan ancaman serius bagi ekosistem yang menempatkan Indonesia di urutan pertama terluas di dunia ini. Masalah ini mungkin dapat diatasi dengan perencanaan pemanfaatan lahan secara baik dengan melibatkan elemen masyarakat, Pemda, Akademisi, maupun LSM yang selama ini telah menunjukkan kepeduliannya terhadap kawasan pesisir pantai. Kedua, menghentikan aktivitas eksploitasi hutan bakau untuk kepentingan industri arang, mengingat selama ini aktivitas tersebut seolah-seolah bukan merupakan ancaman serius bagi keberadaan ekosistem ini, padahal penebangan liar ini turut serta mereduksi secara kontinu hutan mangrove kita, mengingat bahwa ekosistem ini memang kurang mendapat perhatian dari pihak pengambil kebijakan mengenai pemanfaatan sumber daya lingkungan. Sehingga selama ini tidak ada ancaman hukum yang serius bagi para pembalak hutan bakau. Ketiga, memberikan perhatian kepada fauna air, terutama burung yang menggantungkan hidupnya pada lahan basah, misalnya burung air. Karena burung memiliki peranan penting secara ekologis dalam pertukaran energi antara kehidupan darat dan pantai, sehingga burung menentukan dinamika produktivitas pada lahan basah. Satu hal yang mungkin kurang mendapat perhatian, keberadaan burung pantai terutama burung migran dapat dijadikan objek wisata berwawasan lingkungan (ekowisata), misalnya dengan membangun stasiun pengamatan burung pantai, sekaligus dapat membantu membuka lapangan pekerjaan kepada masyarakat setempat serta merangsang kepedulian dan kecintaan masyarakat terhadap burung pantai, sebagaimana kita ketahui Indonesia memilki diversitas burung air tertinggi di dunia. Keempat, mengingat bahwa kurang lebih dari 60 % penduduk Indonesia bermukim di daerah pesisir, yang mana mayoritasnya menggantungkan hidupnya secara langsung kepada sumberdaya alam dan umumnya berada di bawah garis kemiskinan. Hal ini mendorong eksploitasi sumberdaya secara berlebihan yang pada akhirnya menjadi bumerang bagi kelestarian alam pesisir itu sendiri. Oleh karena itu, sudah sepantasnya masalah pemberdayaan masyarakat pesisir bukan hanya sebagai impian lagi. Perlu adanya suatu perencanaan matang dan berkesinambungan dalam program menurunkan tingkat kemiskinan masyarakat pesisir, baik itu mencarikan solusi lapangan pekerjaan yang lebih luas, maupun meningkatkan peranan masyarakat secara aktif dalam pengelolaan sumberdaya yang terarah dan berwawasan lingkungan. Karena dengan itulah masyarakat pesisir akan lebih memahami jati dirinya sebagai frontliner dalam menjaga kelestarian ekosistem pantai.


Akhirnya, mungkin kita perlu mengingat kembali peristiwa selamatnya perkampungan di pantai barat Aceh dan pantai utara Nias pada peristiwa mengenaskan pada akhir Desember 2004 silam. Hal ini menjadi bukti kuat di lapangan akan fungsi hutan mangrove yang mampu mereduksi energi maha dahsyat dari gelombang tsunami dengan akarnya yang kokoh menyembul kepermukaan tanah. Apakah tidak riskan kita harus membeli teknologi mahal dari luar negeri untuk merancang tanggul penahan gelombang tsunami sedangkan kita seharusnya hanya perlu melestarikan hutan mangrove titipan kakek buyut kita? Atau tidakkah kita ingin berbagi cerita bersama para ”pelancong bebas visa” yang telah terbang jauh dari Siberia dan belahan bumi lain di Percut, Karang Gading?


Oleh Rahmad Lingga

Penulis adalah Wakil Ketua HIMABIO USU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar